Lifestyle
Alasan Mengapa Kita Sering Boros Saat Belanja
Alasan Mengapa Kita Sering Boros Saat Belanja
Alasan Mengapa Jika Belanja Terkadang Tidak Ingat Waktu Dan Menurut Sebagian Orang Hal Tersebut Adalah Aktivitas Yang Menyenangkan. Namun tanpa di sadari, kita sering kali menghabiskan uang lebih banyak dari yang di rencanakan. Oleh sebab itu boros saat berbelanja bukan hanya masalah impulsive. Tetapi juga bisa di pengaruhi oleh berbagai faktor psikologis, sosial, dan situasional. Karena diskon dan promo adalah strategi pemasaran yang sering di gunakan oleh toko atau merek, untuk menarik perhatian konsumen dan meningkatkan penjualan. Meskipun tampaknya hanya sekadar penawaran harga yang lebih murah, diskon dan promo memiliki dampak psikologis yang kuat terhadap perilaku belanja kita.
Salah satu Alasan Mengapa kita paling suka dengan diskon dan promo adalah, perasaan senang atau bangga karena “berhasil” mendapatkan barang dengan harga lebih murah. Hal ini di kenal sebagai fenomena perceived value atau nilai yang di rasakan. Maka ketika kita merasa bahwa barang yang kita beli memiliki nilai lebih, kita cenderung merasa puas dengan keputusan pembelian. Meskipun sebenarnya kita mungkin tidak membutuhkan barang tersebut. Dan perasaan ini sering kali di iringi dengan rasa kemenangan atau kebanggaan, seolah kita telah membuat keputusan pintar.
Meskipun harga barang tersebut mungkin sudah di perhitungkan dalam anggaran kita. Tetapi dengan diskon membuat kita merasa seperti mendapatkan “bonus” atau keuntungan ekstra. Karena banyak promo yang di sertai dengan kalimat seperti “Hanya berlaku hari ini”, “Diskon terbatas” atau “Hanya untuk 100 pembeli pertama”. Hal ini menciptakan rasa urgensi dan tekanan untuk membeli segera agar tidak ketinggalan kesempatan tersebut. Maka efek psikologis ini di sebut sebagai scarcity atau kelangkaan. Sehingga otak kita cenderung merespons lebih kuat terhadap peluang yang tampak terbatas Alasan Mengapa.
Alasan Mengapa Membeli Barang Yang Mungkin Sebenarnya Tidak Kita Butuhkan
Ketika kita merasa terbatas dalam waktu atau jumlah barang yang tersedia, kita merasa bahwa kesempatan ini tidak boleh di lewatkan. Maka hal ini membuat kita lebih impulsif dengan Alasan Mengapa Membeli Barang Yang Mungkin Sebenarnya Tidak Kita Butuhkan. Hanya karena kita takut kehilangan kesempatan diskon atau promo tersebut. Oleh sebab itu diskon sering kali menyebabkan kita lebih fokus pada harga yang lebih rendah daripada nilai sejati dari barang tersebut. Misalnya, kita mungkin melihat sebuah jaket yang awalnya seharga Rp500.000 dan sedang diskon menjadi Rp300.000.
Meskipun kita tidak membutuhkan jaket baru, tetapi dengan diskon besar membuat kita merasa bahwa ini adalah kesempatan yang terlalu baik untuk di lewatkan. Sehingga otak kita sering kali lebih menghargai perbedaan harga daripada menilai apakah barang tersebut sesuai dengan kebutuhan kita. Dengan kata lain, diskon membuat kita lebih fokus pada penurunan harga daripada kebutuhan atau keinginan sejati kita terhadap barang tersebut. Oleh sebab itu strategi pemasaran juga menggunakan teknik framing. Di mana informasi tentang harga di sajikan dengan cara yang dapat mempengaruhi persepsi kita.
Misalnya, daripada mengatakan barang tersebut “diskon 20%”, beberapa toko akan mengatakan “hemat Rp100.000 dari harga asli”. Maka dari itu dengan cara penyajian ini membuat diskon terasa lebih besar dan lebih menarik. Serta pengaruh framing ini membuat kita lebih fokus pada angka diskon atau jumlah uang yang kita “hemat”, meskipun hasil akhirnya mungkin tidak signifikan. Sebagai contoh, jika kita membeli sepatu seharga Rp500.000 dengan diskon 20%, kita mungkin merasa hemat banyak uang, meskipun sebetulnya kita mungkin tidak membutuhkan sepatu tersebut.
Diskon Justru Meningkatkan Keinginan Kita Untuk Membeli
Dengan adanya diskon juga mempengaruhi persepsi kita tentang kualitas barang. Maka ketika kita melihat diskon besar besaran, kita mungkin berpikir bahwa barang tersebut tidak begitu baik, atau ada sesuatu yang salah dengan produk itu. Tetapi di sisi lain, diskon yang lebih kecil atau promosi yang terbatas waktu. Sehingga membuat kita lebih cenderung untuk merasa bahwa barang tersebut tetap berkualitas tinggi. Terkadang, Diskon Justru Meningkatkan Keinginan Kita Untuk Membeli karena kita menganggap barang tersebut “lebih terjangkau”. Meskipun kualitas atau kebutuhannya tidak selalu relevan dengan keputusan belanja kita.
Promo yang menawarkan insentif seperti cashback, poin reward, atau program loyalitas sering kali mempengaruhi kita untuk terus berbelanja di tempat yang sama. Maka efek ini dikenal dengan istilah loyalty bias, di mana konsumen merasa terdorong untuk membeli lebih banyak produk di masa depan demi keuntungan atau insentif yang lebih besar. Oleh sebab itu dengan adanya insentif ini, kita merasa “di untungkan”. Meskipun secara keseluruhan pengeluaran kita bisa jauh lebih besar daripada jika kita berbelanja tanpa adanya promo atau diskon.
Hal ini sering kali menciptakan siklus belanja yang berkelanjutan, di mana konsumen merasa semakin “terikat” dengan program promo dari suatu merek atau toko. Sehingga diskon dan promo sering kali menciptakan ilusi bahwa kita mengurangi resiko finansial dalam berbelanja. Dan ketika harga suatu barang lebih murah, kita merasa bahwa potensi kerugian finansial lebih kecil. Maka dari itu bisa mempengaruhi kita untuk membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Karena kita merasa seolah olah kita tidak terlalu merugi, bahkan jika barang tersebut tidak di gunakan atau tidak memuaskan.
Membeli Barang Secara Spontan Tanpa Perencanaan Sebelumnya
Selain itu, diskon juga sering kali mengurangi rasa bersalah setelah membeli barang, hanya karena kita merasa sudah mendapatkan “harga terbaik”. Meskipun dalam kenyataannya barang tersebut mungkin tetap tidak berguna atau tidak sesuai dengan anggaran. Sehingga belanja impulsif terjadi ketika seseorang Membeli Barang Secara Spontan Tanpa Perencanaan Sebelumnya. Hal ini biasanya di picu oleh rangsangan visual, seperti melihat produk yang menarik di etalase toko atau aplikasi belanja online. Oleh sebab itu keputusan ini sering kali tidak di pikirkan matang matang. Dan setelah pembelian selesai, kita baru menyadari bahwa barang tersebut tidak benar benar di butuhkan.
Faktor stres, bosan, atau perasaan senang juga dapat memicu belanja impulsif. Maka sosial media sering kali menampilkan gaya hidup orang lain yang tampak mewah dan penuh kebahagiaan. Hal ini dapat mempengaruhi kita untuk berbelanja agar terlihat seperti mereka, atau karena merasa “ketinggalan zaman” jika tidak mengikuti tren terkini. Dan media sosial juga sering kali memperlihatkan barang yang sedang tren atau di rekomendasikan oleh influencer. Yang dapat mempengaruhi keputusan belanja kita secara tidak sadar. Terkadang kita merasa bahwa uang yang kita miliki cukup untuk membeli barang yang di inginkan, meskipun itu bukanlah kebutuhan utama.
Hal ini bisa terjadi karena kita meremehkan dampak jangka panjang dari pengeluaran kecil yang sering kali terakumulasi. Seperti membeli kopi setiap hari atau pakaian yang hanya di pakai sekali mungkin terasa tidak signifikan. Tetapi bila di jumlahkan dalam jangka panjang, bisa menjadi pengeluaran yang cukup besar. Maka sering kali, belanja di gunakan sebagai pelarian dari perasaan stres, sedih, atau bosan. Karena banyak orang merasa bahwa membeli barang baru bisa memberikan kebahagiaan sesaat atau perasaan puas Alasan Mengapa.