Tokushu Seiso
Tokushu Seiso, Kebersihan Khusus Di Era Isolasi Sosial Jepang

Tokushu Seiso, Kebersihan Khusus Di Era Isolasi Sosial Jepang

Tokushu Seiso, Kebersihan Khusus Di Era Isolasi Sosial Jepang

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Tokushu Seiso
Tokushu Seiso, Kebersihan Khusus Di Era Isolasi Sosial Jepang

Tokushu Seiso Merupakan Istilah Yang Berasal Dari Bahasa Jepang Yang Secara Harfiah Berarti Pembersihan Khusus. Dalam konteks sosial dan pekerjaan istilah ini sering merujuk pada pekerjaan pembersihan yang di lakukan dalam situasi atau kondisi khusus yang memerlukan keahlian, teknik, atau perlengkapan tertentu misalnya pembersihan di area yang terpapar bahan kimia berbahaya, atau kegiatan pembersihan setelah kejadian bencana alam seperti gempa dan tsunami.

Pekerjaan semacam ini bukan saja memerlukan pelatihan khusus mengenai materi yang mungkin berbahaya, tetapi juga pengetahuan tentang prosedur keamanan serta penggunaan peralatan pelindung yang tepat. Pekerjaan ini membutuhkan tenaga yang kuat dan stamina yang tinggi. Karena harus mengangkat beban berat, membersihkan kotoran yang membandel, dan bekerja di lingkungan yang tidak sehat.

Disisi lain Tokushu Seiso juga dapat menguras mental karena harus berhadapan dengan situasi yang tidak menyenangkan seperti melihat sampah yang menumpuk, bau yang tidak sedap, bahkan mayat. Tetapi meskipun penuh dengan tantangan Tokushu Seiso menawarkan peluang kerja yang menarik bagi orang-orang yang memiliki tekad kuat, mental yang tangguh, serta rasa empati yang tinggi. Pekerjaan ini memiliki tarif yang menggiurkan dengan upah antara 15 hingga 40.000 Yen atau sekitar 1,5 hingga 4,5 juta per jamnya. Di samping itu permintaan untuk jasa semacam ini di Jepang semakin meningkat. Karena jumlah kasus hikikomori dan kodokushi yang terus bertambah.

Fenomena Hikikomuri Di Negara Jepang

Di Jepang pekerja Tokushu Seiso tidak jarang harus membersihkan tempat tinggal pelaku hikikomuri. Terutama ketika kondisinya sangat kotor dan berantakan yang seringkali membutuhkan layanan pembersihan secara khusus. Fenomena Hikikomuri DI Negara Jepang adalah fenomena sosial yang berkaitan dengan Individu biasanya remaja atau dewasa muda yang menarik diri dari kehidupan sosial dan menghabiskan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun dalam isolasi di rumah mereka.

Mereka yang menjalani kehidupan dengan hikikomori sangat berbalik dengan keadaan orang biasa. Rumah mereka biasanya dipenuhi dengan sampah kotoran serta aroma tidak sedap. Hikikomori berasal dari akhir abad ke-20 dan secara harfiah berarti menyendiri, menarik diri, atau konfinasi. Pada akhir 1980-an Jepang mengalami gelembung ekonomi yang kemudian pecah pada awal tahun 1990an. Krisis Ekonomi berikutnya menyebabkan ketidakstabilan pekerjaan dan meningkatkan tekanan sosial dan ekonomi terhadap individu terutama bagi kaum muda.

Di sisi lain munculnya nilai-nilai sosial baru dan tekanan akademik yang meningkat di tambah dengan ekspektasi tinggi dari orang tua dan masyarakat. Hal ini membuat beberapa individu merasa terpinggirkan atau tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Dan karena tekanan sosial dan akademik yang melampaui kemampuan diri banyak dari mereka mengalami depresi gangguan kecemasan atau kegagalan dalam memenuhi harapan keluarga atau masyarakat.

Kemudian sebagai akibatnya mereka memutuskan untuk menghindari interaksi sosial secara ekstrem dan menjauh dari kegiatan sosial atau pekerjaan. Mereka menghabiskan hampir seluruh waktu mereka di dalam kamar atau rumah. Dan seringkali tergantung pada keluarga mereka untuk dukungan finansial serta kebutuhan sehari-hari.

Pada pertengahan 1990-an seorang psikiater Jepang bernama Tamaki Saito menjadi salah satu orang pertama yang menggunakan istilah hikikomori untuk menggambarkan fenomena ini. Menurut Saito hikiomori bukan sekedar rasa malu tetapi hal tersebut merupakan kondisi sosial dan mental yang sangat serius.

Resiko Pekerja Tokushu Seiso

Sementara di sisi lain stigma terhadap penyakit mental dan masalah sosial di Jepang dapat membuat orang enggan untuk mencari bantuan. Dan seiring bertambahnya kesadaran tentang fenomena ini di lakukan lebih banyak penelitian untuk memahami penyebab, konsekuensi, dan solusi untuk hikiomori.

Kendati demikian jumlah individu yang di identifikasi sebagai hikiomori terus meningkat dengan perkiraan berkisar dari beberapa hingga lebih dari satu juta orang di Jepang. Bahkan kemudian walaupun hikikomori awalnya dianggap sebagai fenomena Jepang, kasus serupa mulai dilaporkan di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa hikikomori boleh jadi merupakan masalah Global yang berkaitan dengan modernisasi, isolasi sosial, serta tekanan sosial ekonomi.

Selain bersinggungan dengan tempat tinggal pelaku hikikomuri, Resiko Pekerja Tokushu Seiso juga sering berhadapan dengan tempat kejadian perkara atau TKP kasus bunuh diri, kecelakaan, atau kematian yang tidak wajar. Bahkan mereka seringkali bersinggungan dengan kodokusi istilah Jepang yang mengacu pada fenomena kematian sendirian di rumah mereka tanpa diketahui orang lain sel berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulanan. Fenomena ini sosial yang serius di negara Jepang terutama di kalangan lansia.

Jepang memiliki populasi lansia terbesar di dunia dengan jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya. Perubahan dalam struktur dan dinamika keluarga seperti menurunnya angka pernikahan dan kelahiran serta peningkatan jumlah rumah tangga satu orang telah mengurangi jaringan dukungan sosial bagi banyak orang. Ditambah lagi dengan faktor-faktor seperti kesibukan kerja urbanisasi dan budaya individualisme membuat kodokusi sering terjadi. Kesulitan ekonomi serta ketidakmampuan untuk memperoleh layanan kesehatan atau sosial yang memadai juga berkontribusi terhadap risiko kodokusi.

Dalam kasus kodokusi, penemuan jenazah bisa memakan waktu lama dan sering menyebabkan masalah sanitasi dan komplikasi dalam pemrosesan jenazah. Di tambah lagi dalam banyak kasus tidak ada yang bertanggung jawab atau mampu untuk mengurus biaya Pemakaman dan urusan administratif. Yang kemudian meninggalkan beban kepada pemintah lokal atau komunitas.

Tokushu Seiso Memberikan Solusi Praktis

Maka dengan kejadian semua yang telah di jelaskan Tokushu Seiso hadir untuk terlibat dalam mengurai keruetan tersebut. Sayangnya, kehadiran Tokushu Seiso juga menjadi cerminan realita pahit dari dampak sosial yang muncul di Jepang. Negara tersebut memiliki populasi lansia yang terus meningkat, sementara angka kelahiran terus menurun. Hal ini menyebabkan semakin banyak orang yang memilih atau terpaksa hidup sendiri.

Kondisi ini di perparah dengan budaya individualisme yang kental di Jepang. Para lansia mungkin merasa enggan untuk merepotkan orang lain atau terisolasi secara sosial. Akibatnya, ketika mereka meninggal dunia, bisa jadi tidak ada yang mengetahui selama beberapa waktu.

Tokushu Seiso Memberikan Solusi Praktis, walaupun demikian tetap menjadi pengingat pentingnya kepedulian sosial. Mencegah terjadinya Kodokushi bisa di lakukan dengan membangun jejaring sosial yang lebih kuat. Program yang mendorong interaksi antar warga dapat membantu para lansia untuk merasa tidak sendirian.

Mereka para pekerja Tokushu Seiso tidak hanya di hadapkan pada fenomena sosial dan mental yang kompleks. Tetapi juga dengan beragam kondisi yang sangat tidak wajar dari mereka yang menjalani hikomori dan kodukusi yang hal tersebut dapat berdampak sangat serius bagi mental mereka sendiri. Hal inilah yang membuat upah mereka sangat tinggi.

Selama mereka sanggup bekerja dengan berbagai fenomena yang yang kompleks yang akan mereka jumpai pastinya. Mereka akan hidup dengan sangat berkecukupan untuk tinggal selamanya di negara Jepang. Namun sebaliknya, ketika mereka tidak sanggup berhadapan dengan fenomena yang kompleks dan tidak wajar maka mereka segera berpindah haluan kerja dan meninggalkan pekerjaan Tokushu Seiso.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait