Kritik
Kritik Dan Juga Harapan Di Balik Rumah Subsidi 18 Meter Persegi

Kritik Dan Juga Harapan Di Balik Rumah Subsidi 18 Meter Persegi

Kritik Dan Juga Harapan Di Balik Rumah Subsidi 18 Meter Persegi

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Kritik Dan Juga Harapan Di Balik Rumah Subsidi 18 Meter Persegi

Kritik Dan Harapan Kepada Pemerintah Indonesia Kembali Menggelar Wacana Pembangunan Rumah Subsidi, Apakah Kamu Tahu Tentang Berita Ini, Yuk Kita Bahas. Rumah subsidi terbaru yang dirancang hanya seluas 18 meter persegi atau di sebut tipe 18/25 dan 18/30 menuai reaksi beragam dari publik. Ukurannya yang sangat kecil membuat banyak pihak membandingkannya dengan kontrakan petak, bahkan tak sedikit yang menyebutnya tidak layak untuk di tinggali keluarga kecil.

Di balik kritik tajam, ada pula segelintir harapan. Pemerintah, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menyebut bahwa desain rumah 18 meter persegi ini di tujukan bagi kalangan muda, seperti pekerja baru, pasangan yang baru menikah, atau bahkan perantau yang ingin memiliki tempat tinggal pribadi dekat pusat kota. Dengan harga yang di prediksi hanya sekitar Rp100–120 juta dan cicilan mulai Rp600 ribuan per bulan, rumah tipe ini di nilai bisa menjadi jalan keluar atas sulitnya akses properti di tengah harga tanah yang terus meroket Kritik.

Namun, kritik datang dari banyak pihak, mulai dari pengamat tata ruang, organisasi arsitektur, hingga masyarakat umum. Dengan luas bangunan hanya 18 meter persegi, ruang gerak penghuni menjadi sangat terbatas. Rumah tipe ini hanya mampu menampung satu kamar tidur, satu kamar mandi kecil, serta ruang multifungsi yang merangkap sebagai ruang tamu, dapur, sekaligus tempat makan. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menyebut bahwa hunian dengan luas sekecil itu sangat berisiko tidak memenuhi standar kelayakan hidup. Di sisi lain, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menyarankan agar rumah subsidi tetap memiliki luas minimal 30 meter persegi, guna memastikan kenyamanan serta kesehatan penghuni Kritik.

#Kontrakanbersubsidi Sempat Menjadi Trending

Wacana pembangunan rumah subsidi berukuran 18 meter persegi menuai reaksi keras dari masyarakat, terutama di media sosial. Ribuan komentar membanjiri unggahan media online dan akun resmi pemerintah, yang mayoritas mempertanyakan kelayakan hunian dengan luas sekecil itu. Banyak warganet menyamakan desain rumah tersebut dengan kontrakan petak, kamar kos, bahkan “kandang burung”. Di platform X (sebelumnya Twitter), tagar seperti #Rumah18Meter dan #Kontrakanbersubsidi Sempat Menjadi Trending. Salah satu pengguna menulis, “18 meter itu rumah apa lemari? Niat bantu rakyat atau cuma asal jadi proyek aja?”. Ungkapan bernada sarkasme seperti ini sangat umum di temukan, mencerminkan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan tersebut.

Keluhan lainnya menyasar pada persepsi bahwa pemerintah terlalu fokus pada kuantitas, bukan kualitas hunian. “Pemerintah bikin rumah subsidi yang kecil banget, tapi tidak mikirin kenyamanan penghuninya. Masa hidup harus di batasi oleh tembok sempit selamanya?” tulis seorang pengguna Instagram. Banyak pula yang mengaitkan proyek ini dengan potensi masalah sosial di masa depan, seperti overpopulasi dalam lingkungan padat dan terbatasnya ruang bermain anak. Namun, tidak semua komentar bersifat negatif. Ada juga warganet yang melihat rumah 18 meter sebagai peluang, terutama bagi kalangan muda. Seorang pengguna TikTok berkata, “Daripada ngontrak terus, mending punya sendiri meski kecil. Lagian masih bisa di renovasi nanti.” Komentar semacam ini cukup umum dari mereka yang bekerja di kota besar namun memiliki penghasilan terbatas.

Beberapa lainnya menyarankan pendekatan “rumah tumbuh” agar rumah mungil ini bisa di kembangkan di masa depan. “Asal struktur awalnya kuat dan lahannya memungkinkan, rumah kecil ini bisa jadi solusi. Tapi pemerintah harus pastikan ada rencana jangka panjangnya,” ujar seorang warganet di kolom diskusi Reddit Indonesia.

Salah Satu Kritik Paling Tajam Yang Muncul Adalah Soal Kelayakan Ruang Hidup Yang Dinilai Terlalu Sempit

Rencana pembangunan rumah subsidi dengan luas hanya 18 meter persegi telah memicu perdebatan luas di kalangan publik dan para pakar. Salah Satu Kritik Paling Tajam Yang Muncul Adalah Soal Kelayakan Ruang Hidup Yang Dinilai Terlalu Sempit, bahkan di sebut oleh sebagian kalangan sebagai “tidak manusiawi”. Kritik ini bukan hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari para arsitek, akademisi, hingga lembaga profesional.

Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) menjadi salah satu pihak yang paling vokal menyuarakan keprihatinan terhadap rumah subsidi tipe 18 ini. Menurut mereka, ukuran tersebut tidak memenuhi standar minimum ruang layak huni, baik dari sisi ergonomi, pencahayaan, ventilasi, maupun privasi penghuni. Dalam praktik arsitektur, hunian yang sehat harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk aktivitas dasar manusia—tidur, makan, bekerja, hingga berinteraksi sosial. Rumah tipe 18 meter persegi di nilai nyaris mustahil memenuhi itu semua dengan layak.

Lebih lanjut, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) juga menyampaikan masukan penting. Mereka mengusulkan agar luas minimum rumah subsidi tidak kurang dari 30 meter persegi. Alasannya jelas: ruang hidup bukan hanya soal tempat tinggal, tapi juga bagian dari martabat dan kualitas hidup warga negara. Jika ruang terlalu sempit, bukan hanya kenyamanan yang terkorbankan, tapi juga potensi tumbuh kembang anggota keluarga—terutama anak-anak bisa terganggu.

Beberapa pengamat tata kota juga mengingatkan soal dampak sosial jangka panjang dari hunian sempit seperti ini. Ketika manusia di paksa hidup dalam ruang yang terlalu terbatas, risiko munculnya stres, konflik rumah tangga, hingga gangguan kesehatan mental akan meningkat. Selain itu, rumah mungil ini di khawatirkan akan memunculkan kawasan padat baru yang rawan menjadi “slum area” jika tidak di barengi dengan penataan lingkungan yang memadai.

Di Bangun Dengan Mempertimbangkan Standar Minimum Kenyamanan Dan Kesehatan

Pemerintah, melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), akhirnya angkat suara terkait polemik rumah subsidi seluas 18 meter persegi yang tengah ramai di bicarakan publik. Melalui berbagai pernyataan resmi, pemerintah menjelaskan bahwa proyek ini bukan untuk menggantikan rumah subsidi tipe standar (36–45 meter persegi), melainkan sebagai alternatif pilihan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin memiliki hunian sendiri di kawasan strategis.

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, Iwan Suprijanto, menyatakan bahwa rumah tipe 18 ini di tujukan khusus untuk individu lajang, pekerja muda, atau pasangan muda tanpa anak yang membutuhkan tempat tinggal sementara dekat kawasan kerja atau pusat kota. Menurutnya, harga tanah yang semakin mahal membuat opsi rumah mungil menjadi strategi efisiensi lahan. Agar tetap bisa memberikan solusi kepemilikan rumah di lokasi yang terjangkau.

“Kami tidak memaksa masyarakat untuk memilih rumah tipe 18. Ini hanya opsi tambahan. Pemerintah tetap menyediakan rumah subsidi dengan ukuran yang lebih besar,” ujar Iwan dalam konferensi pers resmi. Ia menambahkan bahwa rumah ini bisa menjadi batu loncatan. Sebelum masyarakat berpindah ke rumah yang lebih besar seiring peningkatan ekonomi keluarga.

Pemerintah juga menegaskan bahwa rumah tipe 18 meter persegi akan Di Bangun Dengan Mempertimbangkan Standar Minimum Kenyamanan Dan Kesehatan. Termasuk ventilasi, pencahayaan alami, serta akses ke fasilitas umum seperti taman, pusat kegiatan warga, dan ruang terbuka hijau. Selain itu, pemerintah sedang meninjau kemungkinan menerapkan konsep rumah tumbuh. Yang memungkinkan rumah kecil ini di perluas di masa mendatang sesuai kebutuhan penghuni. Menanggapi kritik dari masyarakat dan organisasi profesi, pemerintah menyambut baik masukan tersebut dan menyatakan akan melakukan evaluasi lebih lanjut. Termasuk mempertimbangkan rekomendasi untuk memperbesar luas bangunan Kritik.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait