Lestari

Kongo Menambang Kobalt: Mengikis Rumah, Mengejar Untung
Kongo Menambang Kobalt: Mengikis Rumah, Mengejar Untung
Kongo Menambang Kobalt: Mengikis Rumah, Mengejar Untung Dengan Berbagai Kisah Yang Sangat Punya Banyak Dampak Buruk. Halo teman-teman! Pernahkah anda berhenti sejenak untuk memikirkan dari mana smartphone. Ataupun dengan kendaraan listrik yang kita gunakan sehari-hari mendapatkan energinya? Terlebih jawabannya seringkali bermuara pada satu mineral krusial: kobalt. Dan di jantung pasokan kobalt global, terhampar sebuah kisah yang membayangi. Ia adalah sebuah ironi pahit yang menggetarkan hati: Kongo Menambang Kobalt: Mengikis Rumah, Mengejar Untung. Di Republik Demokratik mereka, di tengah keindahan alam yang memukau. Dan juga jutaan orang bergulat dengan realitas keras penambangan kobalt. Mineral berharga ini, yang sangat vital bagi industri teknologi modern, menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan keuntungan besar bagi segelintir orang dan memicu roda ekonomi global. Namun di sisi lain, penambangan kobalt secara masif ini tak jarang mengikis rumah. Dan mata pencarian masyarakat lokal.
Mengenai ulasan tentang Kongo Menambang Kobalt: mengkikis rumah, mengejar untung telah di lansir sebelumnya oleh kompas.com.
Kongo: Lumbung Kobalt Dunia
RDK telah menyimpan berkah besar di perut buminya, kobalt. Tentu ia adalah logam penting yang menjadi tulang punggung teknologi modern. Dan juga transisi energi hijau global. Terlebih ampir 70 persen dari total pasokan kobalt dunia berasal dari negara ini. Serta juga menjadikan Kongo pusat perhatian industri otomotif, teknologi, dan energi terbarukan. Logam satu ini di gunakan dalam pembuatan baterai lithium-ion. Tentu yang menghidupkan segalanya: dari smartphone, laptop, hingga kendaraan listrik. Dengan permintaan global yang terus melonjak. Kemudian dengan tanah ini menjadi tambang emas baru, atau lebih tepatnya, emas biru bagi dunia. Namun, di balik gemerlap potensi ekonomi ini. Maka terdapat kenyataan kelam yang kontras. Kekayaan mineral ini tidak membawa kemakmuran bagi rakyatnya. Namun melainkan menjadi kutukan. Di wilayah-wilayah tambang seperti Kolwezi dan Lualaba. Serta ada banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Kongo Menambang Kobalt: Mengikis Rumah, Mengejar Untung Yang Semakin Mencemaskan
Kemudian, masih membahas Kongo Menambang Kobalt: Mengikis Rumah, Mengejar Untung Yang Semakin Mencemaskan. Dan aspek lain yang mengecewakan lainnya ada di:
Eksploitasi Sumber Daya = Kutukan, Bukan Berkah
Tentu mereka adalah contoh nyata dari apa yang di sebut oleh para ekonom sebagai “kutukan sumber daya alam”. Terlebih istilah ini merujuk pada paradoks yang di alami banyak negara kaya mineral. Dan juga hasil bumi. Hal ini di mana kekayaan alam justru tidak membawa kemakmuran, melainkan kesengsaraan. Mereka memiliki logam, emas, tembaga, berlian, hingga coltan. Dan kekayaan ini seharusnya bisa menjadi motor penggerak pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Namun kenyataannya, sumber daya tersebut telah menjadi akar dari ketimpangan. Kemudian juga kekerasan, dan penderitaan berkepanjangan. Alih-alih menjadi berkah, logam penting ini dan mineral lainnya telah di jadikan komoditas yang di eksploitasi. Khususnya oleh elite lokal dan korporasi asing. Terlebihnya tanpa memperhatikan hak dan kesejahteraan rakyat. Di tingkat pemerintah, hasil tambang masuk ke kantong segelintir pejabat. Sementara masyarakat sekitar tambang tetap hidup dalam kondisi memprihatinkan. Korupsi merajalela.
Transparansi nyaris tidak ada. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi fondasi kemajuan nasional justru menyuburkan oligarki. Dan juga memperkuat dominasi asing. Di lapangan, kekayaan tambang memicu konflik horizontal dan vertikal. Kelompok milisi bersenjata bersaing menguasai lahan tambang. Kemudian memaksa masyarakat lokal keluar dari tanahnya sendiri. Perebutan wilayah konsesi tambang kerap menimbulkan kekerasan, pengusiran paksa. Bahkan pembunuhan. Sumber daya berubah menjadi sumber konflik, bukan solusi kesejahteraan. Lebih jauh, eksploitasi ini merusak struktur sosial. Kehidupan tradisional masyarakat hancur ketika tanah pertanian mereka berubah menjadi lubang-lubang tambang. Ketergantungan pada ekonomi ekstraktif membuat warga kehilangan akses terhadap sumber kehidupan. Anak-anak lebih memilih menambang karena sekolah tak lagi memberi harapan. Warga terpaksa bekerja dalam tambang dengan risiko tinggi karena tak ada pilihan lain.
Ironi RDK: Untung Miliaran, Tanah Sendiri Terkikis
Selain itu, masih ada lagi Ironi RDK: Untung Miliaran, Tanah Sendiri Terkikis. Dan ironi lainnya terletak pada:
Buruh Anak Dan Kerja Paksa
Di balik teknologi yang memudahkan hidup modern. Terlebihnya dari ponsel pintar, laptop, hingga mobil listrik. Dan juga tersimpan kenyataan pahit yang jarang terlihat: ribuan anak di RDK menggali tanah dengan tangan mereka demi secuil kobalt. Tentu anak-anak ini bukan sekadar korban ekonomi. Namun mereka adalah wajah nyata dari eksploitasi manusia dalam sistem produksi global. Kobalt, logam yang sangat penting untuk baterai lithium-ion. Dan juga sebagian besar berasal dari tambang-tambang di sana. Namun, tidak semua tambang di kelola secara industri dan resmi. Serta sebagian besar berasal dari apa yang di sebut sebagai tambang skala kecil. Maupun dengan tambang rakyat (artisanal mining). Dan juga tambang-tambang ini seringkali berada di luar jangkauan hukum. Tentunya tanpa pengawasan keselamatan. Terlebih tanpa perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Di sinilah banyak anak-anak, bahkan yang berusia di bawah 10 tahun. Kemudian juga terlibat langsung sebagai buruh tambang. Mereka membawa karung, menggali lubang sempit, mengangkut tanah yang berat. Dan juga menyaring material dengan tangan kosong. Banyak dari mereka putus sekolah, atau tidak pernah masuk sekolah sama sekali. Mereka tidak di lindungi oleh asuransi, tidak memiliki akses kesehatan. Serta hidup di bawah ancaman kecelakaan, longsor, serta paparan bahan beracun. Upah yang mereka terima pun sangat kecil. Namun juga kadang hanya senilai satu atau dua dolar per hari. Tentu hal ini sangat jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Namun bagi keluarga miskin yang tak punya alternatif ekonomi lain. Kemudian juga mengirim anak ke tambang di anggap sebagai “jalan realistis” untuk hidup. Dalam banyak kasus, anak-anak bekerja karena tekanan ekonomi, bukan karena pilihan bebas. Serta secara prinsip hukum internasional tergolong kerja paksa anak.
Ironi RDK: Untung Miliaran, Tanah Sendiri Terkikis Yang Tentu Sangat Mengkhawatirkan
Selanjutnya juga masih ada Ironi RDK: Untung Miliaran, Tanah Sendiri Terkikis Yang Tentu Sangat Mengkhawatirkan. Dan ironi lainnya yaitu:
Kerusakan Lingkungan Parah
Penambangan kobalt di Republik Demokratik Kongo bukan hanya meninggalkan luka sosial. Akan tetapi juga menciptakan kehancuran ekologis yang luas dan dalam. Demi memenuhi permintaan global terhadap bahan baku baterai. Dan juga alam Kongo yang dulunya kaya akan hutan tropis, sungai jernih. Serta dengan tanah subur telah berubah menjadi lanskap penuh lubang tambang. Kemudian juga dengan air beracun, dan udara kotor. Di wilayah pertambangan seperti Kolwezi, Lualaba, dan Haut-Katanga. Terlebih lahan hijau telah di kupas habis untuk membuka area eksploitasi. Hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. Serta juga rumah bagi keanekaragaman hayati, di tebang tanpa pertimbangan ekologis.
Flora dan fauna lokal lenyap, rantai makanan rusak. Dan juga keanekaragaman hayati terancam punah hanya. Tentunya untuk memberi ruang bagi aktivitas tambang skala besar maupun kecil. Kerusakan terbesar juga terjadi pada sistem air dan tanah. Proses penambangan dan pemrosesan bijih kobalt menggunakan bahan kimia beracun seperti asam sulfat. Dan juga menghasilkan limbah logam berat seperti arsenik dan kadmium. Terlebih limbah ini sering di buang langsung ke sungai atau meresap ke dalam tanah tanpa pengolahan. Akibatnya, air sungai yang dulunya di gunakan untuk minum, mandi. Dan juga bertani berubah warna dan tercemar. Warga yang tinggal di sekitar tambang sering melaporkan penyakit kulit, gangguan pernapasan, dan bahkan kasus kanker. Serta yang di duga berkaitan dengan paparan limbah tambang.
Jadi itu dia beberapa fakta mengerikan karena demi mendapat untung justru mengkikis rumah terkait dari Kongo Menambang Kobalt.
