Kisah
Kisah Mbah Sadiman: Sang Penjaga Hutan, Penyelamat Generasi

Kisah Mbah Sadiman: Sang Penjaga Hutan, Penyelamat Generasi

Kisah Mbah Sadiman: Sang Penjaga Hutan, Penyelamat Generasi

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Kisah
Kisah Mbah Sadiman: Sang Penjaga Hutan, Penyelamat Generasi

Kisah Mbah Sadiman Dari Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Menjadi Oase Harapan Karena Aksinya Menanam Pohon. Pria sepuh yang dulunya di anggap “gila” karena menanam ribuan pohon di bukit tandus, kini justru diakui sebagai pahlawan lingkungan. Melalui ketekunan tanpa pamrih, ia membuktikan bahwa satu orang saja cukup untuk menyelamatkan generasi asal dilakukan dengan cinta dan konsistensi.

Perjalanan inspiratif itu di mulai pada pertengahan 1990-an. Kala itu, kawasan Bukit Gendol dan Bukit Ampyangan, yang berada di lereng Gunung Lawu, menjadi kering dan gersang akibat pembalakan liar serta kebakaran hutan. Dampaknya sangat nyata: warga kekurangan air, sawah mengering, dan panen gagal. Namun di tengah keterpurukan, seorang petani tua memutuskan untuk bertindak.

Dengan semangat yang nyaris tak masuk akal, Mbah Sadiman mulai menanam pohon beringin dan pohon elo dua jenis tanaman yang di kenal sebagai pengikat air. Ia menjual kambing peliharaannya demi membeli bibit, dan berjalan kaki setiap hari membawa air untuk menyiram tanaman-tanaman kecil di bukit. Saat banyak orang memandang pohon hanya dari sisi ekonomis, Kisah Mbah Sadiman memilih jalur konservasi, demi masa depan desa.

Selama hampir tiga dekade, lebih dari 11.000 hingga 20.000 pohon telah ia tanam. Hasilnya mulai tampak: sumber-sumber mata air kembali muncul, debit air meningkat, dan lahan pertanian kembali subur. Tak kurang dari 1.000 kepala keluarga kini menikmati air bersih yang mengalir sepanjang tahun berkat tangan renta yang tak pernah lelah menggenggam harapan. Kisah Pada tahun 2016, negara akhirnya mengakui jasanya melalui Penghargaan Kalpataru, sebuah penghormatan tertinggi bagi pejuang lingkungan hidup.

Sejatinya Lebih Dari Sekadar Aksi Menanam Pohon

Apa yang di lakukan Mbah Sadiman Sejatinya Lebih Dari Sekadar Aksi Menanam Pohon. Ia menghidupkan kembali kesadaran mendasar bahwa hutan bukan hanya paru-paru dunia, tetapi juga nadi kehidupan masyarakat desa. Kawasan hutan yang sebelumnya gundul menyebabkan berbagai masalah ekologis yang berimbas langsung ke kehidupan warga. Kekeringan menjadi bencana rutin saat musim kemarau tiba. Anak-anak harus menempuh jarak jauh hanya untuk mendapatkan air bersih. Pertanian, yang menjadi tumpuan ekonomi warga, lumpuh akibat tak adanya irigasi. Ketahanan pangan, kesehatan, hingga pendidikan ikut tergerus dalam siklus krisis ini.

Melalui tindakan sederhana tapi berkelanjutan, Mbah Sadiman membuktikan bahwa melestarikan hutan adalah investasi jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat. Pohon beringin dan elo yang ia tanam menjadi penyangga alami cadangan air tanah. Perlahan, sumber mata air kembali mengalir. Sungai-sungai kecil yang dulunya mengering kini kembali hidup. Air bersih menjadi tersedia setiap hari, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun pertanian.

Lebih jauh, kehadiran kembali hutan juga berdampak pada suhu mikroklimat desa. Udara menjadi lebih sejuk, kualitas tanah membaik, dan keberagaman hayati perlahan pulih. Ini bukan hanya kemenangan ekologis, tetapi juga kemerdekaan sosial. Di mana masyarakat bisa hidup lebih layak tanpa bergantung sepenuhnya pada bantuan luar. Pelajaran dari kisah ini sangat relevan dengan kondisi banyak daerah di Indonesia saat ini. Deforestasi yang masif dan eksploitasi lahan tanpa kendali telah menimbulkan bencana: banjir, tanah longsor, kebakaran, dan krisis air. Dalam konteks itu, menjaga hutan bukan pilihan, tapi kebutuhan mendesak. Dan kisah Mbah Sadiman menjadi bukti hidup bahwa peran satu individu bisa menyelamatkan komunitas.

Kisah Mbah Sadiman Bukanlah Tokoh Yang Lahir Dari Panggung Popularitas

Kisah Mbah Sadiman Bukanlah Tokoh Yang Lahir Dari Panggung Popularitas. Ia tidak mencetak sejarah di ruang-ruang megah, melainkan di bukit tandus, di antara tanah kering dan bibit pohon yang ia tanam dengan air dari ember-ember kecil. Namun dari keikhlasan dan ketekunan itulah, berbagai penghargaan akhirnya datang sebagai bentuk pengakuan atas perjuangannya yang luar biasa.

Penghargaan paling prestisius yang di terima Mbah Sadiman adalah Penghargaan Kalpataru, yang di berikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2016. Kalpataru merupakan penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup yang di berikan kepada individu atau kelompok yang berjasa luar biasa dalam pelestarian alam. Ia menerima Kalpataru dalam kategori Perintis Lingkungan, karena berhasil merehabilitasi hutan dan memulihkan sumber air di daerahnya secara mandiri. Dari jutaan rakyat Indonesia, hanya segelintir yang mampu mencapai titik itu—dan Mbah Sadiman termasuk salah satunya.

Selain Kalpataru, Mbah Sadiman juga menerima penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang mengapresiasi ketekunannya menjaga lingkungan. Beberapa universitas dan lembaga pendidikan pun menjadikannya narasumber dan ikon inspirasi bagi mahasiswa dan komunitas peduli lingkungan. Ia tak jarang di undang untuk berbagi cerita dalam seminar, diskusi publik, dan kegiatan konservasi lintas daerah.

Di tahun-tahun berikutnya, pengakuan terhadap sosoknya juga datang dari berbagai media nasional dan internasional. Ia masuk dalam daftar tokoh inspiratif versi Kompas, Detik, hingga BBC Indonesia, yang memuat profilnya sebagai simbol ketekunan dan ketulusan. Media sosial pun ikut mengangkat kisahnya, yang membuat nama Mbah Sadiman di kenal luas dan menginspirasi gerakan menanam pohon di kalangan muda.

Bagi Mbah Sadiman, Penghargaan Seperti Kalpataru Bukanlah Hal Yang Membuatnya Puas Lalu Berhenti

Meski kini namanya di kenal luas dan telah menerima berbagai penghargaan bergengsi, Mbah Sadiman tetap tampil sederhana. Sosok renta bersarung itu tidak pernah membanggakan prestasinya, apalagi menjadikannya alat untuk meraih keuntungan pribadi. Dalam berbagai kesempatan, ia menyampaikan dengan tegas bahwa penghargaan bukanlah tujuannya, melainkan sekadar pengakuan atas apa yang ia lakukan dengan tulus selama bertahun-tahun.

“Saya ini orang kampung. Saya tidak tahu apa-apa soal penghargaan. Dan saya cuma ingin desa saya tidak kekurangan air,” ujar Mbah Sadiman dalam sebuah wawancara yang di rilis media nasional. Ucapan itu mencerminkan kerendahan hati yang tak di buat-buat, sebuah nilai langka di tengah budaya pencitraan yang kini kerap mewarnai kerja-kerja sosial.

Bagi Mbah Sadiman, Penghargaan Seperti Kalpataru Bukanlah Hal Yang Membuatnya Puas Lalu Berhenti. Justru sebaliknya, itu menjadi pelecut semangat untuk terus menanam dan merawat hutan. Bahkan setelah menerima Kalpataru dari Presiden pada tahun 2016, ia tetap bangun pagi, berjalan kaki menyusuri bukit, membawa bibit pohon, dan menyiram tanaman seperti hari-hari biasanya.

“Saya ini bukan pahlawan. Kalau hutan gundul, yang rugi ya kita sendiri. Jadi kalau saya menanam pohon, itu bukan kebaikan. Itu kebutuhan,” ucapnya dengan nada serius namun tetap bersahaja. Ungkapan ini menjadi pernyataan resmi dari hatinya—bahwa menjaga alam bukan sekadar proyek atau pekerjaan, melainkan bagian dari tanggung jawab hidup sebagai manusia.

Pihak keluarga dan warga sekitar pun menyampaikan bahwa Mbah Sadiman tidak pernah berubah. Ia tidak memanfaatkan popularitasnya untuk mencari jabatan atau penghormatan lebih. Rumahnya tetap sederhana, bajunya itu-itu saja, dan aktivitasnya tidak pernah jauh dari hutan.

Mbah Sadiman juga sering berpesan kepada generasi muda agar tidak terlalu mengejar penghargaan dalam berkarya. “Kalau kamu kerja baik, nanti orang tahu sendiri. Tapi kalau kamu kerja untuk di puji, hasilnya tidak akan bertahan lama,” begitu kata-kata bijaknya yang kini di kutip banyak aktivis lingkungan Kisah.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait